Sarana Untuk Tukar Pikiran

Senin, 27 Oktober 2008

Sepanjang Jalan Kenangan

Ketika memandang jalan protokol di Wonogiri yang membujur dari arah utara-selatan pada saat mudik, kenangan sekitar 30 tahun yang lalu berkelebat kembali. Betapa pada saat itu jika jam menunjukkan angka sekitar 6.00 – 6.30 berombong-rombong anak sekolah memenuhi jalanan bergerak dari arah utara ke selatan menuju sekolah tercinta SMP 1, begitu pula sebaliknya di siang hari pada arah yang sebaliknya, bagaikan laron keluar dari sarang. Naik angkot/colt pada saat itu tentu adalah sebuah kemewahan, tapi kenapa kita tidak naik sepeda? Karena jalan di Wonogiri yang naik turun sehingga lebih enak jalan kaki atau barangkali ada maksud lain dibalik itu? Saya pernah mencoba naik sepeda tapi kehilangan romantisme berjalan kaki … karena ada banyak kejutan disitu … dimasa puber waktu itu memang ada kebutuhan untuk “melihat” dan “dilihat” dan itu akan terpenuhi jika kita berjalan kaki … betapa mak “glagep” jika tiba-tiba didepan atau di belakang kita terselip “si doi” yang selalu kita impi2kan … perjalanan 30 menit menjadi singkat sekali … kalau bisa sih pinginnya “nginthil” terus sampai Bendungan he he…Jika rute “barat” penuh romantisme tapi ada “pamrih” dibaliknya, rute “timur” tidak kalah menariknya walaupun diliputi kesahajaan. Biasanya disitu dipenuhi anak2 dari Kajen dan Kedungringin … dengan “kehangatan” Siti Surahmi dan Hayu serta gelak canda Kristi si tomboy…. Dua rute yang sama2 menarik tetapi dengan sensasi yang berbeda.
Sampai sekarang saya masih sering kepikiran, jika dari Sanggrahan saja saya berangkat jam 6.00 terus yang dari Ngadirojo (bukan Anik lo maksudku … mengko ana sing mak sengkring … tapi Danar atau Bardi) keluar rumah jam berapa ya? Apalagi 2 serangkai (Maryanto sama siapa … aku lupa namanya) dari Seneng dibalik alas Kethu … dengan semangat 45 …berangkat habis Shubuh kali ya.
Setelah upaya untuk “melihat” dan “dilihat” tidak menghasilkan “sesuatu yang konkrit” saya ikuti hukum pertama aturan memikat lawan jenis : liriklah adik kelas, barangkali lebih mudah ditaklukkan (sing ngajari Nasih lo he he). Karena kebetulan saya kelas 3a maka yang terlirik paling dekat ya anak kelas 2e. Kalau pada saat itu adik kelas yang masuk selebriti papan atas diantaranya adalah Desy dan Sari (kalau ga salah) … hayo do ngaku! … tapi anehnya saya kok ga ikut2an greng sama sekali … padahal karena super minder dan kalah bersaing he he … tapi justru aku termehek-mehek pada anak di kelas sampingku itu yang cilakanya sampai sekarang ga tau namanya siapa … anaknya putih dengan rambut hitam ikal sebahu kadang2 pakai pita warna merah jambu… mata hitam jernih … pendiam tenang anggun menghanyutkan … mirip2 Andi Meriem Matalata … naik sepeda mini warna biru … perkiraanku rumahnya di sekitar Wonokarto, soalnya kalau saya belok kanan di per4an terminal angkuta … dia mengayuh sepeda dengan anggunnya terus ke utara … sebagian jiwaku hilang hanyut terbawa kayuhan sepeda itu (wualah romantis banget … kaya Mahesa Jenar ditinggal Rara Wilis … yen ngene iki sing ngajari Beno he he). Yang saya sesalkan sampai sekarang kenapa dia naik sepeda … tidak mengikuti ritual jalan kaki seperti yang lain2 …. kuwi lak karepmu Hid, kata Bambang … atau justru itukah yang bikin saya penasaran karena sampai lulus tidak berani dan tidak sempat terucap sepatah katapun … dan dia saya yakin sampai sekarangpun ga tau kalau telah membuatku klepek-klepek … Barangkali diantara kita ada yang tau, siapakah dia? … dudu marga pingin balen lo, kenal wae ora …Cinta monyet keduaku yang tragis (cinta monyet pertamanya saya simpan sendiri saja … soalnya juga tak terbalas, dan orangnya ada diantara kita … he he … isin aku).
Sepenggal jalan kenangan yang tak terlupakan, kita menjadi saksi sejarah bagaimana dulu jalan itu sempit berdebu, kemudian dipasang trotoar di kanan kiri dengan jalur lambat yang dibatasi pohon asam kranji … terakhir berubah lebar tanpa jalur lambat.
Saya sebetulnya pingin sekali mudik pada saat-saat masuk sekolah, apakah ritual jalanan bagaikan rombongan pengungsi pindah lokasi itu masih berlangsung ataukah mereka sudah pada naik angkot atau bahkan dijemput dengan mobil pribadi? …. Wealaah Om, kuno … hari gini kok masih jalan kaki berpanas-panas ria … capai deh … sahut ke3 ponakanku yang kebetulan duduk dikelas 1, 2 dan 3 SMP 1 tapi sudah ga kenal ritual jalan kaki lagi … saya kecewa mereka tidak akan pernah memiliki karakter sebagai wong wonogiri sejati, yang pantang menyerah ditengah keterbatasannya… tapi saya maklum juga karena mereka hanya memiliki separo darah wonogiri … sedangkan saya 100% WNI (Wonogiri Asli) jadi walaupun kaki pernah menginjak Great Wall dan disuguhi bebek peking ingatnya malah sama mi geyol tempe mlanding dicampur pecel cikru … mak cegluk.

2 komentar:

Beno mengatakan...

Sepanjang jalan kenangan ingatan saya kok ya cewek melulu.
Ini normal atau abnormal ya.
ihat cewek jalan kaki, rasanya seksi banget.

Bambang Haryanto mengatakan...

Hukum "jenis mencari jenis" berlaku di Internet. Gara-gara mencari tulisan tentang cabuk, kayaknya saya bisa reuni (lagi ?)dengan Mas Mujtahid ini. Ketika saya baca-baca kok lanskap yang Anda ceritakan adalah jalan-jalan yang sama, yang kadang saya lalui bila jalan kaki pagi [sehingga saya bikin blognya, The Morning Walker : wonogirinews24.blogspot.com]. Selain sama-sama sebagai "WNA" [kalau jd nara sumber singkatan ini selalu saya pakai sebagai ice breaker], ternyata ada kesamaan lain : sama-sama warga the yellow jacket. Kalau dicari kesamaan lain, kalau belum pindah, kos saya dan kantor LAPAN sama-sama di Rawamangun. Saya juga punya dua teman pustakawan di LAPAN, Bambang Sutejo dan Gemuru Ritonga. Kesamaan lain : mungkin kangen sama cabuk ya ? Salam.