WONG WONOGIRI

Sarana Untuk Tukar Pikiran

Senin, 27 Oktober 2008

Roketku

Kenapa aku terdampar di LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), sebuah ladang kehidupan yang luar biasa tantangannya : imbalan materi seadanya disamping tantangan teknologi tinggi (hitech) yang jauh di awang-awang. Tapi itulah panggilan jiwa … dan aku selalu percaya pada takdirku. Angan-anganku waktu itu hanya sederhana yaitu bagaimana bisa melanjutkan sekolah dan melanglang buana tanpa biaya.
Lagipula jika semua orang bercita-cita untuk menjadi pengusaha dan bekerja ditempat-tempat yang basah, lantas siapa lagi yang mau menyentuh profesi itu. Ajaibnya semakin lama bekerja, aku semakin yakin bahwa tempatku dan kebahagiaanku memang ada disini, karena seiring bertambahnya waktu aku menjadi tidak peduli lagi tentang “aku belum punya apa dan mereka sudah punya apa”. Ibuku selalu berpesan bahwa “bekerja adalah ibadah” dan itulah senjata ampuh yang selalu kupegang selama hidupku.


Hari2 ku kuisi dengan berpikir dan merenung bagaimana merancang bangun roket yang semakin handal dan canggih. Tantangannya sungguh luar biasa karena roket termasuk teknologi strategis dan tidak ada satupun negara di dunia yang rela bekerjasama menukar teknologinya jika kita hanya sebagai “teman” dan bukan “sekutu”. Dari material sampai informasi semuanya tertutup dan itulah tantangan yang kami hadapi sepanjang masa. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa baik roket balistik (gambar bawah) maupun kendali (gambar atas) bisa digunakan untuk kepentingan sipil maupun militer. Roket balistik kami rancang dan bangun mulai dari kaliber 100 mm sampai dengan 420 mm dengan cita-cita untuk menjadi cikal bakal RPS (Roket Pengorbit Satelit) skala kecil dengan ketinggian orbit sekitar 300 km diatas bumi. Sedangkan roket kendali diarahkan untuk menjaga pertahanan bumi pertiwi tercinta.
Kenapa India dan Cina sudah demikian maju teknologi roketnya, karena mereka didukung dengan dana dan sinergi antar lembaga, pemerintah dan swasta yang luar biasa dan itu membutuhkan tekad yang kuat dari seluruh elemen masyarakat.
Semoga gambar yang kusertakan dapat menjadi inspirasi buat generasi penerusku untuk melanjutkan langkah yang sudah kumulai … apalagi jika generasi itu lahir dari perut bumi Wonogiri tercinta

Sepanjang Jalan Kenangan

Ketika memandang jalan protokol di Wonogiri yang membujur dari arah utara-selatan pada saat mudik, kenangan sekitar 30 tahun yang lalu berkelebat kembali. Betapa pada saat itu jika jam menunjukkan angka sekitar 6.00 – 6.30 berombong-rombong anak sekolah memenuhi jalanan bergerak dari arah utara ke selatan menuju sekolah tercinta SMP 1, begitu pula sebaliknya di siang hari pada arah yang sebaliknya, bagaikan laron keluar dari sarang. Naik angkot/colt pada saat itu tentu adalah sebuah kemewahan, tapi kenapa kita tidak naik sepeda? Karena jalan di Wonogiri yang naik turun sehingga lebih enak jalan kaki atau barangkali ada maksud lain dibalik itu? Saya pernah mencoba naik sepeda tapi kehilangan romantisme berjalan kaki … karena ada banyak kejutan disitu … dimasa puber waktu itu memang ada kebutuhan untuk “melihat” dan “dilihat” dan itu akan terpenuhi jika kita berjalan kaki … betapa mak “glagep” jika tiba-tiba didepan atau di belakang kita terselip “si doi” yang selalu kita impi2kan … perjalanan 30 menit menjadi singkat sekali … kalau bisa sih pinginnya “nginthil” terus sampai Bendungan he he…Jika rute “barat” penuh romantisme tapi ada “pamrih” dibaliknya, rute “timur” tidak kalah menariknya walaupun diliputi kesahajaan. Biasanya disitu dipenuhi anak2 dari Kajen dan Kedungringin … dengan “kehangatan” Siti Surahmi dan Hayu serta gelak canda Kristi si tomboy…. Dua rute yang sama2 menarik tetapi dengan sensasi yang berbeda.
Sampai sekarang saya masih sering kepikiran, jika dari Sanggrahan saja saya berangkat jam 6.00 terus yang dari Ngadirojo (bukan Anik lo maksudku … mengko ana sing mak sengkring … tapi Danar atau Bardi) keluar rumah jam berapa ya? Apalagi 2 serangkai (Maryanto sama siapa … aku lupa namanya) dari Seneng dibalik alas Kethu … dengan semangat 45 …berangkat habis Shubuh kali ya.
Setelah upaya untuk “melihat” dan “dilihat” tidak menghasilkan “sesuatu yang konkrit” saya ikuti hukum pertama aturan memikat lawan jenis : liriklah adik kelas, barangkali lebih mudah ditaklukkan (sing ngajari Nasih lo he he). Karena kebetulan saya kelas 3a maka yang terlirik paling dekat ya anak kelas 2e. Kalau pada saat itu adik kelas yang masuk selebriti papan atas diantaranya adalah Desy dan Sari (kalau ga salah) … hayo do ngaku! … tapi anehnya saya kok ga ikut2an greng sama sekali … padahal karena super minder dan kalah bersaing he he … tapi justru aku termehek-mehek pada anak di kelas sampingku itu yang cilakanya sampai sekarang ga tau namanya siapa … anaknya putih dengan rambut hitam ikal sebahu kadang2 pakai pita warna merah jambu… mata hitam jernih … pendiam tenang anggun menghanyutkan … mirip2 Andi Meriem Matalata … naik sepeda mini warna biru … perkiraanku rumahnya di sekitar Wonokarto, soalnya kalau saya belok kanan di per4an terminal angkuta … dia mengayuh sepeda dengan anggunnya terus ke utara … sebagian jiwaku hilang hanyut terbawa kayuhan sepeda itu (wualah romantis banget … kaya Mahesa Jenar ditinggal Rara Wilis … yen ngene iki sing ngajari Beno he he). Yang saya sesalkan sampai sekarang kenapa dia naik sepeda … tidak mengikuti ritual jalan kaki seperti yang lain2 …. kuwi lak karepmu Hid, kata Bambang … atau justru itukah yang bikin saya penasaran karena sampai lulus tidak berani dan tidak sempat terucap sepatah katapun … dan dia saya yakin sampai sekarangpun ga tau kalau telah membuatku klepek-klepek … Barangkali diantara kita ada yang tau, siapakah dia? … dudu marga pingin balen lo, kenal wae ora …Cinta monyet keduaku yang tragis (cinta monyet pertamanya saya simpan sendiri saja … soalnya juga tak terbalas, dan orangnya ada diantara kita … he he … isin aku).
Sepenggal jalan kenangan yang tak terlupakan, kita menjadi saksi sejarah bagaimana dulu jalan itu sempit berdebu, kemudian dipasang trotoar di kanan kiri dengan jalur lambat yang dibatasi pohon asam kranji … terakhir berubah lebar tanpa jalur lambat.
Saya sebetulnya pingin sekali mudik pada saat-saat masuk sekolah, apakah ritual jalanan bagaikan rombongan pengungsi pindah lokasi itu masih berlangsung ataukah mereka sudah pada naik angkot atau bahkan dijemput dengan mobil pribadi? …. Wealaah Om, kuno … hari gini kok masih jalan kaki berpanas-panas ria … capai deh … sahut ke3 ponakanku yang kebetulan duduk dikelas 1, 2 dan 3 SMP 1 tapi sudah ga kenal ritual jalan kaki lagi … saya kecewa mereka tidak akan pernah memiliki karakter sebagai wong wonogiri sejati, yang pantang menyerah ditengah keterbatasannya… tapi saya maklum juga karena mereka hanya memiliki separo darah wonogiri … sedangkan saya 100% WNI (Wonogiri Asli) jadi walaupun kaki pernah menginjak Great Wall dan disuguhi bebek peking ingatnya malah sama mi geyol tempe mlanding dicampur pecel cikru … mak cegluk.

Kamis, 16 Oktober 2008

Arti Sukses

Ketika sekitar tahun 80an kota2 lain memilih jargon : tersenyum berseri, dll yang berkonotasi dengan kabersihan, Wonogiri memilih semboyan yang agak nyeleneh dari kebiasaan : sukses, lengkapnya : Wonogiri Sukses. Waktu itu dipikiran seorang remaja seperti saya agak kecewa dengan pilihan semboyan seperti itu tapi sekarang saya tahu betapa wong wonogiri pada waktu itu telah melompat jauh kedepan dengan memilih semboyan sukses. Tersembunyi tekad dan semangat untuk menjadi yang terbaik, menjadi pribadi yang sukses di segala bidang.
Kemudian saya merenung apa arti sukses bagi seseorang. Pikiran sempit akan mengatakan bahwa kesuksesan seseorang diukur dari tingginya pendidikan atau banyaknya harta yang telah dikumpulkan. Dengan berjalannya waktu saya jadi berpendapat bahwa ukuran sukses seperti itu sudah ketinggalan jaman. Sukses seseorang adalah jika anda menekuni, menikmati dan berbahagia dengan profesi yang anda geluti, apapun profesi itu. Masalah imbalan akan datang dengan sendirinya, bahkan bila imbalanpun tidak mengikutinya. Jadi bila saya pulang kampung mendengar cerita tentang teman2 masa kecil saya ada yang jadi birokrat, guru, pedagang beras, pedagang pakaian, usaha angkutan, bercocok tanam, wartawan, dosen ... saya sungguh berbahagia. Teman2ku telah banyak yang sukses dengan profesi yang mereka pilih karena mereka sangat menikmati pekerjaanya.
Saya punya teman-teman istimewa yang menginspirasiku sejak waktu saya masih kecil, bagaikan Ikal terinspirasi oleh Lintang dalam "Laskar Pelangi". Pribadi-pribadi istimewa yang saya yakin mereka nanti akan sukses nantinya, apapun pilihan profesi mereka nantinya. Teman-teman yang saya bilang "orang-orang multi talenta". Mereka pandai dan pintar, tapi dengan "kesadaran sendiri" tidak ingin menduduki posisi puncak menjadi ranking 1, 2 atau 3 walaupun saya yakin seyakin-yakinnya kalau mereka mampu. Saya yang sibuk berburu ranking (karena didesak oleh situasi dan kondisi) pada waktu itu sebetulnya menyesal karena banyak 'hal-hal menarik lain diluar sana" tidak sempat tersentuh, padahal minat-minat lain seperti itulah yang akan memperkaya batin dan bekal kita yang akan bisa digunakan untuk melawan hidup dihari2 mendatang. Dan saya tidak kaget kalau teman2 ku yang "berburu ranking" termasuk saya tidak jauh2 profesinya dari dosen, peneliti atau birokrat, profesi yang menurutku aman (Tanpa mengurangi rasa hormatku pada Nasih Widya Yuwono dan Alfi Satriadi). Hormatku pada Bambang Tri Subeno, Bambang Supriyadi dan Setyawan Purnomo Sakti, saya tahu anda adalah orang yang sukses dengan banyak bakat yang anda miliki. Terimakasih teman2, pengalaman itu sekarang saya jadikan referensi untuk mendidik anak2 saya. Saya jadi tidak menuntut apapun pada anak2ku, berkembanglah sesuka hatimu dimana nasib akan membawamu.
Jadi saya akan sangat sedih kalau masih ada perasaan bahwa si A tidak merasa sukses karena "belum punya apa-apa" dan misalnya merasa "hanya jadi bakul di pasar Wonogiri", sehingga menjadi minder untuk bertemu dengan teman lama. Yakinlah bahwa anda adalah pribadi yang sukses jika anda bangga dan menikmati jadi bakul di pasar atau apapun profesi anda. Dari kecil waktu masih blusukan di pasar Wonogiri saya sudah kagum pada mbok2 3 serangkai penjual sambal cabuk. Mereka adalah orang2 yang sukses menurut ukuran saya, dengan setianya menekuni dan menikmati profesinya berjualan sambal cabuk diatas tenggok dan tampah, walaupun mungkin imbalan yang layak tidak menghampirinya. Tapi saya dengar bahkan pak Hartopun mendatangkan cabuk dari mereka.
Wonogiri sukses, sukseslah tanah airku beserta orang2 yang mereguk air dari bumimu.

Rabu, 15 Oktober 2008

SALAM KENAL


Masa kecil di Wonogiri yang kata orang-orang gersang dan tandus , namun ajaibnya mampu menimbulkan kebanggaan sebagai wong wonogiri yang senantiasa rindu pada tanah dan airnya... perasaan minder dan rendah diri yang menghinggapi orang2nya ... tak terkecuali aku. Tapi justru dari situlah timbul tekad dan semangat untuk menjadi yang terbaik ... dan menurutku pencapaianku sampai saat ini tidaklah buruk-buruk amat. Hal ini terjadi karena setiap jenjang pendidikanku aku selalu bertemu dengan pribadi-pribadi yang istimewa ... guru2 yang tak terbalas jasanya.
Masa-masa TK tidaklah banyak kuingat guru2nya... maafkan aku bu guru, padahal engkaulah peletak pondasi pendidikanku. Kemudian SD 3 Wonogiri yang saat itu favorit untuk tingkat kota kecilku dengan guru2nya yang istimewa, terutama pak Geger Satijo dan pak Ahmed Sudiyatmo ... jasamu benar-benar tak terbalas. Beliau2 bukan hanya sebagai pengajar, tapi adalah pendidik dalam arti yang sebenar-benarnya : mengayomi, menyayangi dan memberi semangat bahwa kita pasti bisa. Kemudian ke SMP 1 Wonogiri, diantara sekian banyak guru yang istimewa, terselip mutiara pak PA Pandoyo yang galaknya minta ampun. Namun dibalik kegalakannya terlihat tekadnya untuk membuat muridnya (terutama yang saya rasakan) maju dengan mendorong untuk banyak membaca ... apa saja yang bisa dibaca. Selanjutnya untuk mendapat pendidikan yang lebih baik saya merantau ke SMA 3 Solo yang sangat favorit pada saat itu. Disinilah bertemunya mutiara-mutiara dari seluruh karesidenan Surakarta, dan saya cukup berbangga bisa menaklukkannya dengan masuk ke level atas diantara mutiara-mutiara itu sehingga saya bisa lolos ke Teknik Mesin UGM dengan mudah. Guru2ku sangat istimewa tapi ada satu yang paling istimewa pak Surono. Tanggung jawabnya tidak terkira agar kami semua bisa lolos ke PTN yang pada saat itu merupakan prestise tersendiri, dijaman kita hanya beradu otak untuk bisa lolos, bukan adu uang seperti jaman sekarang. Dengan masuk PTN otomatis strata sosial kita akan terangkat karena tidak semua orang bisa lolos, walaupun dia punya simpanan uang sebesar gunung gandul.
Lulus UGM saya terpaksa merantau lagi ke Jakarta karena tanah kelahiranku tidak menjanjikan apapun untukku. Saya merintis karier sebagai PNS di bidang penelitian, dengan spesialisasi merancang bangun roket, spesialisasi yang tidak banyak orang mau menyentuhnya. Disini saya juga berkesempatan menambah ilmu di Teknik Mesin UI.
Kenangan masa kecil yang terajut hingga saat ini, dipadukan dengan tekad wong wonogiri yang pantang menyerah ... aku berharap bisa berbuat sesuatu untuk bangsa dan negaraku ... tanah kelahiranku.... dimulai dengan tulisan ini